http://inul-makalah.blogspot.com/search/label/Makalah%20Prilaku%20Menyimpang%20Pada%20Remaja
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika
zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk ikut
terbawa arus adalah para remaja. Hal ini terjadi tidak lain karena
mereka memiliki karakteristik tersendiri yang unik: labil, sedang pada
taraf mencari identitas, mengalami masa transisi dari remaja menuju
status dewasa, dan sebagainya.
Di
berbagai kota besar, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulah remaja
belakangan ini makin mengerikan dan mencemaskan masyarakat. Mereka tidak
lagi sekadar terlibat dalam aktivitas nakal seperti membolos sekolah,
merokok, minum-minuman keras, atau mengganggu lawan jenisnya, tetapi tak
jarang mereka terlibat dalam aksi tawuran layaknya preman atau terlibat
dalam penggunaan narkoba, terjerumus dalam kehidupan seksual pranikah,
dan berbagai bentuk perilaku menyimpang lainnya. Di suatu kota, misalnya
sebagian besar SMU dilaporkan pernah mengeluarkan siswanya lantaran
tertangkap basah menyimpan dan menikmati benda haram tersebut. Sementara
itu, di sejumlah kos-kosan, tak jarang ditemukan kasus beberapa ABG
menggelar pesta putau atau narkotika hingga ada salah satu korban tewas
akibat over dosis.
Secara
sosiologis, remaja umumnya memang amat rentan terhadap
pengaruh-pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri, mereka
mudah sekali terombang-ambing, dan masih merasa sulit menentukan tokoh
panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat di
sekitarnya. Karena kondisi kejiwaan yang labil, remaja mudah terpengaruh
dan terbawa arus sesuai dengan keadaan lingkungannya. Mereka cenderung
mengambil jalan pintas dan tidak mau pusing-pusing memikirkan dampak
negatifnya. Di berbagai komunitas dan kota besar, jangan heran jika
hura-hura, seks bebas, menghisap ganja dan zat adiktif lainnya cenderung
mudah menggoda para remaja. Siapakah yang harus dipersalahkan tatkala
kita menjumpai remaja yang terperosok pada perilaku yang menyimpang dan
melanggar hukum atau paling tidak melanggar tata tertib yang berlaku di
masyarakat? Dalam hal ini, kita tidak harus saling menyalahkan, jalan
yang akan ditempuh adalah memperbaiki cara dan sistem dalam mendidik
anak dan remaja.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Tujuan Khusus
1) Menjabarkankan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang
2) Menjelaskan teori-teori penyimpangan remaja yang dijelaskan oleh ahli.
3) Mengetahui wujud dan jenis perilaku menyimpang (Kenakalan) yang dilakukan remaja.
4) Menjelaskan beberapa usaha yang dilakukan dalam menanggulangi terjadinya perilaku menyimpang pada remaja.
b. Tujuan Umum
Tujuan
umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata
kuliah Perkembangan Peserta Didik yang diwajibkan bagi mahasiswa yang
mengambil mata kuliah tersebut.
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang
Lingkup masalah dibuat dengan tujuan membatasi masalah-masalah yang di
bahas dalam makalah ini. Sehingga tidak terjadi pembahasan masalah yang
tidak berhubungan dengan masalah yang dibahas. Adapun Ruang lingkup
masalah dalam makalah ini adalah :
a. Pengertian perilaku menyimpang
b. Teori-teori ahli terhadap perilaku menyimpang remaja
c. Ciri-ciri perilaku menyimpang
d. Faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang pada remaja
e. Jenis-jenis perilaku menyimpang pada remaja
f. Dampak perilaku menyimpang remaja
g. Usaha yang dilakukan dalam menanggulangi perilaku menyimpang pada remaja.
BAB II
PERILAKU MENYIMPANG PADA REMAJA
2.1 Pengertian Perilaku Menyimpang
Suatu
perilaku dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat
mengakibatkan kerugian terhadap diri sendiri dan orang lain. Perilaku
menyimpang cenderung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap
norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai, dan bahkan hukum.
Menurut
Andi Mappiere, perilaku menyimpang disebut juga dengan Tingkah Laku
Bermasalah. Tingkah laku bermasalah masih dianggap wajar jika hal ini
terjadi pada remaja. Maksudnya, tingkah lau ini masih terjadi dalam
batas ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan sebagai akibat adanya
perubahan secara fisik dan psikis. Lebih luas lagi, para ahli berusaha
mendefinisikan pengertian perilaku menyimpang. Menurut Ronald A.
Hordert, perilaku menyimpang adalah setiap tindakan yang melanggar
keinginan-keinginan bersama sehingga dianggap menodai kepribadian
kelompok yang akhirnya si pelaku dikenai sanksi. Keinginan bersama yang
dimaksud adalah sistem nilai dan norma yang berlaku. Sedangkan Robert M.
Z. Lawang beranggapan bahwa perilaku menyimpang merupakan semua
tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan
menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itn untuk
memperbaiki perilaku menyimpang. Selain dua tokoh itu, James W. Van Der
Zanden juga berusaha mendefinisikan konsep tersebut. Menurutnya,
perilaku menyimpang merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas toleransi.
2.2 Teori dan Pandangan Terhadap Kehidupan Remaja
2.2.1 Teori "Differential Association"
Teori
ini dikembangkan oleh E. Suthedand yang didasarkan pada arti penting
proses belajar. Menurut Sutherland perilaku menyimpang yang dilakukan
remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang
melandasinya adalah “a criminal act occurs when situation apropriate for it, as defined by the person, is present”
(Rose Gialombardo; 1972). Selanjutnya menurut Sutherland perilaku
menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proposisi guna mencari akar
permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku.
Proposisi
tersebut antara lain: Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang
dipelajari secara negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi
(genetik). Jika ada salah satu anggota keluarga yang berposisi sebagai
pemakai maka hal tersebut lebih mungkin disebabkan karena proses belajar
dari obyek model dan bukan hasil genetik. Kedua, perilaku menyimpang
yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan orang
lain dan proses komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan melalui
bahasa isyarat. Ketiga, proses mempelajari perilaku biasanya terjadi
pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Dalam keadaan ini
biasanya mereka cenderung untuk kelompok di mana ia diterima sepenuhnya
dalam kelompok tersebut. Termasuk dalam hal ini mempelajari norma-norma
dalam kelompok. Apabila kelompok tersebut adalah kelompok negatif
niscaya ia harus mengikuti norma yang ada. Keempat, apabila perilaku
menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang dipelajari meliputi: teknik
melakukannya, motif atau dorangan serta alasan pembenar termasuk sikap.
Kelima, arah dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari
peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi
oleh orang-orang yang secara bersamaan memandang hukum sebagai sesuatu
yang perlu diperhatikan dan dipatuhi. Tetapi kadang sebaliknya,
seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang memandang bahwa hukum
sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya perilaku
menyimpang. Keenam, seseorang menjadi delinkuen karena ekses dari pola
pikir yang lebih memandang aturan hukum sebagai pemberi peluang
dilakukannya penyimpangan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang
harus diperhatikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferential association
bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan
intensitasnya. Delapan, proses mempelajari perilaku menyimpang yang
dilakukan remaja menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadi dalam
proses belajar. Terdapat stimulus-stimulus seperti: keluarga yang kacau,
depresi, dianggap berani oleh teman dan sebagainya merupakan sejumlah
eleman yang memperkuat respon. Sembilan, perilaku menyimpang yang
dilakukan remaja merupakan pernyataan akan kebutuhan dan dianggap
sebagai nilai yang umum.
2.2.2 Teori Anomie
Teori
ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton dan berorientasi pada kelas.
Konsep anomi sendiri diperkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis yaitu
Emile Durkheim (1893), yang mendefinisikan sebagai keadaan tanpa norma
(deregulation) di dalam masyarakat. Keadaan deregulation atau
normlessness tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Oleh Merton
konsep ini selanjutnya diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan
antara kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku
kelompok. Adanya perbedaan kelas sosial menimbulkan adanya perbedaan
tujuan dan sarana yang dipilih. Kelompok masyarakat kelas bawah (lower
class) misalnya memiliki kesempatan yang lebih kecil dibandingkan dengan
kelompok masyarakat kelas atas. Keadaan tersebut terjadi karena tidak
meratanya kesempatan dan sarana serta perbedaan struktur kesempatan.
Akibatnya menimbulkan frustrasi di kalangan anggota masyarakat. Dengan
demikian ketidakpuasan, frustrasi, konflik, depresi, dan penyimpangan
perilaku muncul sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya kesempatan
untuk mencapai tujuan.
Berkaitan
dengan perilaku menyimpang yang dilakukan remaja, dapat dikemukakan
bahwa teori ini lebih memfokuskan pada kesalahan atau 'penyakit' dalam
struktur sosial sebagai penyebab terjadinya kasus perilaku menyimpang
remaja. Teori ini juga menjelaskan adanya tekanan-tekanan yang terjadi
dalam masyarakat sehingga menyebabkan munculnya perilaku menyimpang
(deviance).
2.2.3 Teori Kenakalan Remaja oleh Albert K. Cohen
Fokus
perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku
delinkuen (menyimpang) banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah
yang kemudian membentuk 'gang'. Perilaku delinkuen merupakan cermin
ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang
cenderung mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi yang ada dipandang
sebagai kendala dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan sesuai dengan
keinginan mereka sehingga menyebabkan kelompok usia muda kelas bawah ini
mengalami 'status frustration'. Menurut Cohen para remaja umumnya
mencari status. Tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya karena
adanya perbedaan dalam struktur sosial.
Remaja
dari kelas bawah cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan
simbolis. Selama mereka berlomba dengan remaja kelas menengah kemudian
banyak yang mengalami kekecewaan. Akibat dari situasi ini anak-anak
tersebut banyak yang membentuk 'gang' dan melakukan perilaku menyimpang
yang bersifat 'non multilitarian, nonmalicious and nonnegativistick'.
Cohen melihat bahwa perilaku delinkuen merupakan bentukan dari
subkulktur terpisah dari sistem tata nilai yang berlaku pada masyarakat
luas. Subkultur merupakan sesuatu yang diambil dari norma budaya yang
lebih besar tetapi kemudian dibelokkan secara berbalik dan berlawanan
arah. Perilaku delinkuen selanjutnya dianggap benar oleh sistem tata
nilai sub budaya mereka, sementara perilaku tersebut dianggap keliru
oleh norma budaya yang lebih besar dan berlaku di masyarakat.
2.2.4 Teori Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
Menurut
Cloward dan Ohlin terdapat lebih dari satu cara bagi para remaja untuk
mencapai aspirasinya. Pada masyarakat urban yang merupakan wilayah kelas
bawah terdapat berbagai kesempatan yang sah, yang dapat menimbulkan
berbagai kesempatan. Dengan demikian kedudukkan dalam masyarakat
menentukan kemampuan untuk berpartisipasi dalam mencapai sukses baik
melalui kesempatan konvensional maupun kesempatan kriminal.
Menunit
Cloward dan Ohlin terdapat 3 jenis sub kultur tipe gang kenakalan
remaja. Pertama, criminal subculture, bilamana masyarakat secara penuh
berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelompok para remaja yang
belajar dari orang dewasa. Hal
ini berkaitan dengan organisasi kriminal. Kriminal sub kultur lebih
menekankan pada aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi dan
berusaha menghindari kekerasan. Kedua, a retreatist subculture. Sub
kultur jenis ini lebih banyak melakukan kegiatan mabuk-mabukan dan
aktivitas gang lebih mengutamakan pencarian uang untuk tujuan
mabuk-mabukan termasuk juga melakukan konsumsi terhadap narkoba. Ketiga,
conflict sub culture. Dalam masyarakat yang tidak terintegrasi akan
menyebabkan lemahnya organisasi. Gang tipe ini akan memperlihatkan
perilaku yang bebas. Kekerasan, perampasan, hak milik dan perilaku lain
menjadi tanda gang tersebut. Para remaja akan melakukan kenakalan jika
menghadapi keadaan tegang, menghadapi tekanan-tekanan serta keadaan yang
tidak normal.
2.2.5 Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza dan Sykes
Menurut
teori ini orang yang melakukan perilaku menyimpang disebabkan adanya
kecenderungan untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut
persepsi dan kepentingan mereka sendiri. Penyimpangan perilaku dilakukan
dengan cara mengikuti arus pelaku lainnya melalui sebuah proses
pembenanan (netralisasi). Berbagai bentuk netralisasi yang muncul pada
orang yang melakukan perilaku menyimpang. Pertama, the denial of responsibility,
mereka menganggap dirinya sebagai korban dan tekanan-tekanan sosial,
misalnya kurangnya kasih sayang, pergaulan dan lingkungan yang kurang
baik dan sebagainya. Kedua, the denial of injury, mereka berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar di masyarakat. Ketiga, the denial of victims, mereka biasanya menyebut dirinya sebagai pahlawan, dan menganggap dirinya sebagai orang yang baik dan berada. Keempat, condemnation of the condemnesr,
mereka beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah
orang yang munafik, hipokrit atau pelaku kejahatan terselubung. Kelima, appeal to higher loyalitiy,
mereka beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat
luas dan hukum dengan kepentingan kelompok kecil atau minoritas
darimana mereka berasal atau tergabung misalnya kelompok gang atau
saudara kandung.
2.2.6 Teori Kontrol
Teori
ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan
yang sama kemungkinannya yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku
(baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku
individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku
baik dan tidak baik diciptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan, 1987).
Selanjutnya penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial seseorang
dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku
menyimpang termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif
lainnya.
Seseorang
yang terlepas ikatan sosial dengan masyarakatnya akan cenderung
berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam
masyarakat lembaga kontrol sosial tidak berfungsi secara maksimal maka
akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan sosial anggota
masyarakat dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota
masyarakat akan leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang. Menurut
Hirsehi (1988) terdapat 4 (empat) unsur dalam ikatan sosial antara lain:
Pertama, attachment,
mengacu pada kemampuan seseorang untuk melibatkan dirinya terhadap
orang lain. Jika attachment sudah terbentuk maka seseorang akan peka
terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain.
Kedua, commitment,
mengacu pada keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti
lembaga, sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Perhitungan
untung rugi keterlibatan seseorang dalam perilaku menyimpang sangat
diperhatikan. Artinya ketika lembaga atau pekerjaan memberikan manfaat
dan keuntungan bagi seseorang maka kecil kemungkinan untuk melakukan
perilaku menyimpang.
Ketiga, involvement,
mengacu pada suatu pemikiran bahwa apabila seseorang disibukkan atau
berperan aktif dalam berbagai kegiatan konvensional atau pekerjaan maka
ia tidak akan sempat berpikir apalagi terlibat dalam perilaku
menyimpang.
Keempat, beliefs,
mengacu pada kepercayaan atau keyakinan seseorang pada nilai atau
kaidah kemasyarakatan yang berlaku. Kepercayaan terhadap norma atau
aturan yang ada akan sangat mempengaruhi seseorang bertindak mematuhi
atau melawan peraturan yang ada.
Menurut
Hirschi keempat unsur ikatan sosial tersebut harus terbentuk dalam
masyarakat. Jika unsur-unsur tersebut tidak terbentuk maka penyimpangan
perilaku termasuk penyalahgunaan berbagai jenis narkotika, alkohol dan
zat adiktif lainnya berpeluang besar untuk dilakukan oleh masyarakat
luas khususnya anggota masyarakat pada usia remaja atau dewasa awal.
2.3 Ciri-Ciri Perilaku Menyimpang
Banyak
ahli telah meneliti tentang ciri-ciri perilaku menyimpang pada remaja.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996), ciri-ciri yang bisa
diketahui dari perilaku menyimpang sebagai berikut.
a. Suatu perbuatan disebut menyimpang bilamana perbuatan itu dinyatakan sebagai menyimpang.
b. Penyimpangan
terjadi sebagai konsekuensi dari adanya peraturan dan penerapan sanksi
yang dilakukan oleh orang lain terhadap si pelaku menyimpang.
c. Ada perilaku menyimpang yang bisa diterima dan ada yang ditolak.
d. Mayoritas
remaja tidak sepenuhnya menaati peraturan sehingga ada bentuk
penyimpangan yang relatif atau tersamar dan ada yang mutlak.
2.4 Faktor Pendorong Perilaku Menyimpang
Perilaku
menyimpang dapat terjadi di manapun dan dapat dilakukan oleh siapapun,
termasuk remaja. Sepanjang perilaku menyimpang terjadi, keseimbangan
dalam masyarakat akan terganggu. Banyaknya kejahatan di lingkungan
masyarakat menunjukkan adanya pelanggaran nilai dan norma. Dari hari ke hari modus kejahatan yang dilakukan remaja semakin kompleks.
Banyak
faktor atau kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku
menyimpang, baik berasal dari dalam diri individu, maupun dari pengaruh
luar diri individu tersebut. Sebagai contoh, dalam studi Lewin
mengungkapkan bahwa 90 % anak-anak yang bersifat jujur berasal dari
keluarga yang keadaannya stabil dan harmonis, sedagkan 75 % anak-anak
pembohong berasal dari keluarga yang tidak harmonis atau disebut broken home. Adapun factor-faktor yang penyebab terjadinya perilaku menyimpang dijelaskan sebagai berikut.
a. Faktor dari diri Individu
1) Potensi kecerdasan yang rendah
2) Mempunyai masalah yang kompleks dan tidak dapat ditanggulangi diri
3) Mengalami kesalahan beradaptasi di lingkungan tempat tinggal
4) Tidak menemukan figure yang tepat untuk dijadikan pedoman dalam berkehidupan sehari-hari.
b. Faktor dari luar individu
1) Lingkungan keluarga
a) Kekacauan dalam kehidupan keluarga (broken home)
b) Kurangnya pengawasan dari orang tua
c) Kesalahan cara orang tua dalam mendidik
d) Tidak mendapat perlakuan yang sesuai dalam keluarga
2) Lingkungan sekolah
a) Longgarnya disiplin sekolah
b) Kealahan dalam sistem pendidikan sekolah
c) Perlakuan guru yang tidak adil terhadap siswa
d) Kecenderungan sekolah memandang kontribusi orang tua
e) Perlakuan otoriter yang diterapkan guru-guru sekolah
3) Lingkungan masyarakat
a) Kurangya partisipasi masyarakat dalam menanggulangi perilaku menyimpang remaja dilingkungan masyarakat
b) Kemajuan teknologi informasi yang pesat menyebabkan kebablasan informasi bagi remaja
c) Banyaknya masyarakat yang cenderung mencontohkan perbuatan yang dilarang dan bahkan kriminal
d) Kerusakan moral dalam komplek tempat tinggal
2.5 Jenis-Jenis atau Wujud Perilaku Menyimpang
Sudarsono,
1991 dalam bukunya Kenakalan remaja mengatakan Juvenille Delinquency
secara estimologis dapat diartikan sebagai kejahatan anak, akan tetapi
pengertian tersebut memberikan konotasi yang cenderung negative atau
negative sama sekali. Atas pertimbangan yang lebih moderat dan mengingat
kepentingan subyek, maka beberapa ilmuwan memberanikan diri untuk
mengartikan Juvenille Delinquency sebagai kenakalan remaja. Psikolog
Drs. Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari kenakalan remaja
sebagai berikut : tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang dewasa maka perbuatan tersebut merupakan kejahatan, jadi
merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dilakaukan anak, khususnya
anaka remaja.
Dr
Fuad Hasan dalam B. Simanjuntak juga memberikan definisi kenakalan
remaja sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan anak remaja yang
bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai kejahatan. Dari
kedua pengertian di atas, Sudarsana menarik benang merah diantara
keduanya yaitu, kenakalan remaja adalah perbuatan atau kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum
anti social, anti susila dan menyalahi norma-norma agama.
Ada
banyak sekali jenis kenakalan yang telah dilakukan remaja pada saat
ini, oleh karena itu ada pengelompokkan kenakalan remaja di dalam
seperti yang diungkapkan Sudarsono :
2. Kejahatan dengan kekerasan, termasuk didalamnya pembunuhan dan penganiayaan
3. Kejahatan Pencurian, baik itu pencuriana biasa maupun pencurian dengan pemberatan
4. Penggelapan
5. Penipuan
6. Pemerasan
7. Gelandangan
8. Pemerkosaan
9. Kejahatan Narkotika, termasuk didalamnya memakai dan mengedarkan narkotika.
2.6 Dampak Perilaku Menyimpang
Apa
yang akan terjadi jika perilaku menyimpang pada remaja semakin merebak?
Jelas situasi ini akan mengganggu keseimbangan dalam berbagai segi
kehidupan. Konformitas tidak tercapai, keamanan dan kenyamanan menjadi
terganggu. Oleh karena itu, berbagai pihak berusaha mengantisipasi
meningkatnya perilaku menyimpang dengan berbagai cara. Dampak
yang timbul dari perilaku menyimpang ini ibarat pedang bermata dua.
Artinya, baik pelaku maupun masyarakat sekitar merasakan dampak dari
perilaku menyimpang tersebut.
Setiap
orang yang melakukan perilaku menyimpang oleh masyarakat akan dicap
sebagai penyimpang (devian). Hal ini dikarenakan setiap tindakan yang
bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dianggap sebagai penyimpangan dan, harus
ditolak. Individu pelaku penyimpangan tersebut akan dikucilkan dari
masyarakat. Pengucilan kepada pelaku penyimpangan dilakukan masyarakat
supaya pelaku penyimpangan menyadari kesalahannya. Pengucilan ini dapat
terjadi di segala bidang, baik hukum, adat atau budaya. Pengucilan
secara hukum melalui penjara, kurungan dan sebagainya. Kondisi ini
membuat perkembangan jiwa si pelaku menjadi terganggu. Seseorang yang
ditolak dalam masyarakat jiwanya menjadi tertekan secara psikologis.
Timbul rasa malu, bersalah, bahkan penyesalan dalam diri individu
tersebut. Inilah dampak perilaku menyimpang bagi diri si pelaku.
Perilaku
menyimpang berdampak pula terhadap kehidupan masyarakat. Pertama,
meningkatnya angka kriminalitas dan pelanggaran terhadap norma-norma
dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan setiap tindak penyimpangan
merupakan hasil pengaruh dari individu lain, sehingga tindak kejahatan
akan muncul berkelompok dalam masyarakat. Misalnya seorang residivis
dalam penjara akan mendapatkan kawan sesama penjahat. Keluarnya dari
penjara dia akan membentuk "kelompok penjahat". Akibatnya akan
meningkatkan kriminalitas.
Selain
itu perilaku menyimpang dapat pula mengganggu keseimbangan sosial serta
memudarnya nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku
menyimpang yang tidak mendapatkan sanksi tegas dan jelas akan
memunculkan sikap apatis pada pelaksanaan nilai-nilai dan norma dalam
masyarakat. Akibatnya nilai dan norma menjadi pudar kewibawaannya untuk
mengatur tata tertib dalam masyarakat. Pada akhirnya nilai dan norma
tidak dipandang sebagai aturan yang mengikat perilaku masyarakat.
2.7 Usaha Penanggulangan Perilaku Menyimpang Remaja
Usaha
yang dilakukan dalam menanggulangi perilaku menyimpang remaja dapat
dikelmpokkan menjadi tindakan pencegahan (preventif), pengentasan
(curative), pembetulan (corrective), dan penjagaan atau pemeliharaan (perseverative). Usaha-usaha tersebut dapat dilakukan dengan cara :
1. Usaha di lingkungan keluarga
a. Menciptakan keluarga yang harmonis, terbuka dan jauh dari kekacauan.
Dengan keadaan keluarga yang seperti ini, mengakibatkan anak-anak
remaja lebih sering tinggal dirumah daripada keluyuran di luar rumah.
Tindakan ini lebih mendekatkan hubungan orang tua dengan anaknya.
b. Memberikan
kemerdekaan kepada anak remaja untuk mengemukakan pendapatnya dalam
batas-batas kewajaran tertentu. Dengan tindakan seperti ini, anak-anak
dapat berani untuk menentukan langkahnya, tanpa ada keraguan dan paksaan
dari berbagai pihak. Sehingga mereka dapat menjadi lebih bertanggung
jawab terhadap apa yang mereka kerjakan.
c. Orang
tua selalu berbagi (sharing) pengalaman, cerita dan informasi kepada
anak-anak remaja. Sehingga mereka dapat memilih figure dan sikap yang
cocok unutk dijadikan pegangan dalam bertingkah laku.
d. Orang tua sebaiknya memperlihatkan sikap-sikap yang pantas dan dapat diteladani oleh anak-anak mereka.
2. Usaha di lingkungan sekolah
a. Menegakkan
disiplin sekolah yang wajar dan dapat diterima siswa dan penhuni
sekolah. Disiplin yang baik dan wajar dapat diterapkan dengan
pembentukan aturan-aturan yang sesuai dan tidak merugikan berbagai
pihak.
b. Pelaksanaan
peraturan dengan adil dan tidak pandang bulu. Tinadakan dilakukan
dengan cara memberikan sangsi yang sesuai terhadap semua siswa yang
melanggar peraturan tanpa melihat keadaan orang tua siswa tersebut.
Seperti siswa yang berasal dari kaluarga terpandang atau pejabat.
c. Meningkatkan
kerja sama dengan masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar
sekolah. Dengan cara ini, masyarakat dapat melaporkan langsung
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan siswa di luar pekarangan
sekolah. Seperti bolos, tawuran, merokok dan minum minuman keras.
3. Usaha di lingkungan masyarakat
a. Menegur remaja-remaja yang sedang melakukan tindakan-tindakan yang telah melanggar norma.
b. Menjadi teladan yang baik bagi remaja-remaja yang tinggal di lingkungan tempat tinggal.
c. Mengadakan
kegiatan kepemudaan di lingkungan tempat tinggal. Kegiatan ini
dilakukan bersama-sama dengan melibatkan remaja-remaja untuk
berpartisipasi aktif.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perilaku
dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat mengakibatkan
kerugian terhadap diri sendiri dan orang lain. Perilaku menyimpang
cenderung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma,
aturan-aturan, nilai-nilai, dan bahkan hukum. Para ahli telah melakukan
penelitian mengenai perilaku menyimpang ini. Dengan penelitian tersebut,
para ahli telah merumuskan berbagai macam teori dalam kasus
penyimpangan remaja. Adapu teori-teori tersebut adalah :
a. Teori Differential Association
b. Teori Anomie
c. Teori Kenakalan remaja oleh Albert K. Cohen
d. Teori Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
e. Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza dan Sykes
f. Teori Kontrol
Perspektif atau teori yang
paling tepat dipergunakan untuk memahami kehidupan remaja sangat
tergantung pada konteks dan cara pandang yang di pakai. Tetapi, yang
penting adalah untuk memahami dunia remaja yang dibutuhkan kesediaan
untuk berempati dan mengerti apa sebetulnya keinginan, harapan, idiom,
dan dunia kehidupan mereka. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam
terhadap kehidupan remaja, semua tindakan dan cara-cara yang di lakukan
hanyalah aksi-aksi untuk menghakimi atau sekadar menyalahkan mereka
sebagai anak nakal yang tak patuh pada nasehat orang tua
Perlaku
menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang tidak sehat baik dari
segi fisik, mental, social dan ekonomi. Bagaimana Negara ini di masa
akan datang apabila mereka remaja pada saat ini sudah tidak sehat semua,
padahal mereka adalah pemimpin di masa datang. Pencegahan kenakalan
remaja lebih efektif dan efisien daripada kita mengobati, meskipun kita
juga harus menyembuhkan remaja yang sudah terlanjur melakukan
penyimpangan, pencegahan akan berjalan dengan baik apabila ada sinergi
dari pemerintah sebagai penentu kebijakan, institusi pendidikan dimana
mereka belajar dan lingkungan keluarga.